makalah teori belajar

BAB I

PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang

Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.

Teori behaviorisme dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.

Menurut teori behaviorisme belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman (Gage, Berliner, 1984). Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000).  Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut.

Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.

1.2       Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan tentang teori Behaviorisme adalah :

  1. Apakah pengertian Teori behaviorisme ?
  2. Siapa saja tokoh yang menganut aliran behaviorisme ?
  3. Bagaimana ciri dari teori belajar behaviorisme ?
  4. Apa saja prinsip dalam teori belajar behaviorisme?
  5. Bagaimana aplikasi dalam pembelajaran behaviorisme ?
  6. Bagaimana implikasi teori belajar behaviorisme ?
  7. Apakah tujuan pembelajaran teori behaviorisme ?

1.3       Tujuan Makalah

Adapun tujuan makalah dalam penulisan makalah ini, yaitu :

  1. Dapat menjelaskan pengertian teori behaviorisme
  2. Dapat memperbandingkan teori behaviorisme menurut para tokoh
  3. Dapat mengkategorikan ciri dari teori belajar behaviorisme
  4. Dapat menunjukan aplikasi dalam pembelajaran behaviorisme
  5. Dapat menunjukan implikasi dalam pembelajaran behaviorisme
  6. Dapat menyatakan pendapat tentang tujuan pembelajaran behaviorisme

BAB II

PEMBAHASAN

2.1       Pengertian Teori Behaviorisme

Seperti telah diketahui, behaviorisme adalah sebuah aliran dalam psikologi yang didirikan oleh John B. Watson pada tahun 1913. Sama halnya dengan psikoanalisa, behaviorisme juga merupakan aliran yang revolusioner, kuat dan berpengaruh serta memiliki akar sejarah yang cukup dalam. Sejumlah filsuf dan ilmuwan sebelum Watson dalam satu dan lain bentuk telah mengajukan gagasan-gagasan mengenai pendekatan objektif dalam mempelajari manusia berdasarkan pandangan yang mekanistis dan materialistis, suatu pendekatan yang menjadi ciri utama dari behaviorisme. Seorang di antaranya adalah Ivan Pavlov (1849-1936), seorang ahli fisiologi Rusia. [1]

Behaviorisme adalah teori perkembangan perilaku, yang dapat diukur, diamati dan dihasilkan oleh respons pelajar terhadap rangsangan. Tanggapan terhadap rangsangan dapat diperkuat dengan umpan balik positif atau negatif terhadap perilaku kondisi yang diinginkan. Hukuman kadang-kadang digunakan dalam menghilangkan atau mengurangi tindakan tidak benar, diikuti dengan menjelaskan tindakan yang diinginkan. Pendidikan behaviorisme merupakan kunci dalam mengembangkan keterampilan dasar dan dasar-dasar pemahaman dalam semua bidang subjek dan manajemen kelas. Ada ahli yang menyebutkan bahwa teori belajar behavioristik adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret.

Dalam teori behaviorisme, ingin menganalisa hanya perilaku yang nampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Teori kaum behavoris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena seluruh perilaku manusia adalah hasil belajar. Belajar artinya perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalian oleh faktor-faktor lingkungan. Dalam arti teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Dari hal ini, timbulah konsep ”manusia mesin” (Homo Mechanicus).

2.2       Tokoh-Tokoh Aliran Behaviorisme

Tokoh-tokoh aliran behaviorisme di antaranya adalah ThorndikeWatsonClark HullEdwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran.

Teori Belajar Menurut Thorndike

Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).

Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.

Teori Belajar Menurut Watson

Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.

Teori Belajar Menurut Clark Hull

Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).

Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie

Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi.

Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.

Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).

Teori Belajar Menurut Skinner

Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000).

Oleh karena itu, dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.

2.3       Ciri dari teori belajar behaviorisme             

Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya. Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkah laku adalah hasil belajar.

Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).

Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.

Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka responpun akan semakin kuat.

2.4       Prinsip dalam Teori Belajar Behaviorisme

  1. Reinforcement and Punishment

Reinforcement dan Punishment merupakan perlakuan pendidik kepada anak didiknya. reinforcement dan punishment juga merupakan strategi untuk mengajar dan mendidik siswa. Reinforcement dalam dunia pendidikan anak diartikan sebagai penghargaan yang diharapkan bisa meningkatkan sikap dan perkembangan positif pada anak didik. Biasanya reinforcement berupa hadiah dan pujian. Berikut adalah contohnya;

Hadiah kejutan untuk kesuksesan ulangan harian

Misalnya, anda adalah seorang ibu atau ayah yang sedang menjemput pulang anak anda. Di dalam perjalanan pulang atau boleh juga pada saat tiba di rumah, tanyakan pada anak anda apakah hari ini ada ulangan atau tidak, jika ada ulangan bagaimana hasilnya. misalnya anak anda mendapatkan nilai 8 atau 9, maka ajaklah anak anda untuk merayakan keberhasilannya mencapai nilai tersebut. Langkah ini telah terbukti mampu memacu semangat belajar siswa, maka di sinilah terjadi reinforcement. perlu diketahui bahwa untuk melakukan reinforcement tidak harus menunggu anak mendapatkan nilai 8 atau 9, namun berapapun nilainya, orang tua harus mensupport anak didik.

Ada beberapa wujud reinforcement yang sering dilakukan oleh pendidik. Pertama, reinforcement perayaan keberhasilan dengan memberikan hadiah berupa makanan, kedua, berupa ucapan selamat, dan ketiga berupa hadiah yang lain seperti menonton film kesukaannya, pergi piknik dsb.

Punishment atau hukuman bukan hal yang baru lagi dalam dunia pendidikan. hukuman sudah terlalu mengakar tunggang dalam benak para pendidik dari jaman pendidikan yang penuh kekerasan hingga sekarang yang meskipun sudah di sana sini digembar gemborkan penghapusan kekerasan pada siswa tetap saja hukuman yang tidak membangun baik berupa kekerasan dan lainnya diterapkan dalam proses pembelajaran dan pendidikan.

contoh dari bentuk punishment yang tidak membangun banyak sekali ditemukan di sekolah, sebut saja siswa kena strap, harus berdiri dibawah tiang bendera. hukuman seperti demikian itu sama sekali tidak membangun. mestinya, ketika siswa melakukan sebuah pelanggaran, hukumlah mereka dengan sesuatu yang justru memberikan manfaat yang positif bagi mereka, misalnya dengan menghafalkan kosa kata bahasa inggris dengan jumlah tertentu dan masih banyak hukuman lainnya yang jauh lebih memberikan kontribusi positif.

  1. Primary and Secondary Reinforcement

Reinforcers primer hampir selalu nyata. Mereka biasanya terdiri dari sesuatu yang anak bisa memegang atau merasa tapi mereka selalu melibatkan keinginan langsung. Contohnya termasuk bola favorit, terowongan, mainan, video, atau hal-hal lain yang membangkitkan indra seperti gelembung, menggelitik, pelukan atau meremas, tekstur, atau musik. Salah satu penguat utama yang paling mendasar adalah makanan. Makanan bisa menjadi penguat bahkan ketika anak Anda tidak lapar, jika camilan yang disukai. Strategi ini adalah untuk hanya memberikan jumlah yang sangat kecil dari makanan setelah menetapkan jumlah tanggapan sukses atau tugas. Camilan favorit bisa pergi sepanjang jalan jika dikelola dengan tepat. Hal ini juga penting untuk tidak membiarkan hal itu camilan atau objek menjadi terlalu memanjakan.

Reinforcers sekunder, sebagaimana disebutkan di atas dipelajari. Mereka intrinsik dan bermanfaat pada tingkat internal, memberikan siswa perasaan atau anticiaption sesuatu yang mereka akhirnya bergaul dengan suatu kegiatan. Sebagai contoh, pembacaan cerita pengantar tidur dapat dikaitkan dengan perasaan mengantuk jika selalu membaca pada sekitar waktu yang sama, di tempat tidur, sebelum tidur. Beberapa contoh lain dari penguatan sekunder meliputi pujian verbal, tersenyum, token, thumbs up, dan bertepuk tangan. Untuk siswa yang khas, pujian lisan biasanya cukup. Anak-anak menyadari bahwa mereka melakukan sesuatu yang baik ketika mereka mendapatkan kegembiraan dan senyum dari orang dewasa atau teman sebaya di sekitar mereka. Dengan anak-anak yang kekurangan empati sosial dan kemampuan untuk berhubungan dengan perasaan orang lain, pujian lisan ini perlu dipasangkan dengan sesuatu yang lain. Jika anak suka dipeluk atau diperas, Anda mungkin ingin memasangkan pujian lisan dengan pelukan besar untuk menciptakan yang baik, perasaan hangat.

  1. Schedules of Reinforcement

Jadwal penguatan adalah aturan yang tepat yang digunakan untuk menyajikan (atau menghapus) reinforcers (atau punishers) mengikuti perilaku operant tertentu. Aturan-aturan ini didefinisikan dalam hal waktu dan / atau jumlah tanggapan yang diperlukan dalam rangka untuk menyajikan (atau menghapus) sebuah penguat (atau Punisher). Jadwal yang berbeda jadwal penguatan menghasilkan efek berbeda pada perilaku instrumental.

  1. Contingency Management

Manajemen kontingensi atau penggunaan sistematis Penguatan adalah jenis perawatan yang digunakan di bidang kesehatan atau penyalahgunaan zat mental. Perilaku pasien dihargai (atau, lebih jarang, dihukum), umumnya, kepatuhan terhadap atau kegagalan untuk mematuhi aturan program dan peraturan atau rencana pengobatan mereka. Sebagai pendekatan untuk pengobatan, manajemen kontingensi muncul dari terapi perilaku dan diterapkan analisis perilaku tradisi dalam kesehatan mental. Dengan sebagian besar evaluasi, prosedur manajemen kontingensi memproduksi salah satu efek ukuran terbesar dari semua kesehatan mental dan intervensi pendidikan.

  1.  Stimulus Control in Operant Learning

Kontrol stimulus dikatakan terjadi ketika organisme berperilaku dalam satu cara dengan adanya stimulus yang diberikan dan cara lain dalam ketiadaan. Misalnya, adanya tanda berhenti meningkatkan kemungkinan bahwa “pengereman” perilaku akan terjadi. Biasanya perilaku tersebut disebabkan oleh memperkuat perilaku di hadapan satu stimulus dan menghilangkan penguatan dengan adanya stimulus lain. Banyak teori percaya bahwa semua perilaku berada di bawah beberapa bentuk kontrol stimulus.  perilaku verbal adalah berbagai rumit perilaku dengan berbagai rangsangan pengendali.

Prinsip-prinsip teori behaviorisme :

  1. Obyek psikologi adalah tingkah laku
  2. Semua bentuk tingkah laku di kembalikan pada reflek
  3. Mementingkan pembentukan kebiasaan.

Untuk mempermudah mengenal teori belajar behavioristik dapat dipergunakan ciri-cirinya yakni

  1. Mementingkan pengaruh lingkungan (environmentalistis)
  2. Mementingkan bagian-bagian (elentaristis)
  3. Mementingkan peranan reaksi (respon)
  4. Mementingkan mekanisme terbentuknya hasil belajar
  5. Mementingkan hubungan sebab akibat pada waktu yang lalu
  6. Mementingkan pembentukan kebiasaan.
  7. Ciri khusus dalam pemecahan masalah dengan “mencoba dan gagal’ atau trial and   error.

2.5       Aplikasi dalam Pembelajaran Behaviorisme

Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.

Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.

Demikian halnya dalam pembelajaran, pembelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pembelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pembelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.

2.6       Implikasi Teori Belajar Behaviorisme

Kurikulum berbasis filsafat behaviorisme tidak sepenuhnya dapat diimplementasikan dalam sistem pendidikan nasional, terlebih lagi pada jenjang pendidikan usia dewasa. Tetapi behaviorisme dapat diterapkan untuk metode pembelajaran bagi anak yang belum dewasa. Karena hasil eksperimentasi bihaviorisme cenderung mengesampingkan aspek-aspek potensial dan kemampuan manusia yang dilahirkan. Bahkan bihaviorisme cenderung menerapkan sistem pendidikan yang berpusat pada manusia baik sebagai subjek maupun objek pendidikan yang netral etik dan melupakan dimensi-dimensi spiritualitas sebagai fitrah manusia. Oleh karena itu behaviorisme cenderung antropomorfis skularistik.

Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pembelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pembelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.

Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pembelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pembelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pembelajar.

2.7       Tujuan Pembelajaran Behaviorisme

Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pembelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.

Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Behaviorisme adalah teori perkembangan perilaku, yang dapat diukur, diamati dan dihasilkan oleh respons pelajar terhadap rangsangan. Tanggapan terhadap rangsangan dapat diperkuat dengan umpan balik positif atau negatif terhadap perilaku kondisi yang diinginkan. Terdapat beberapa tokoh yang mengemukakan teori behaviorisme, diantaranya : ThorndikeWatsonClark HullEdwin Guthrie, dan Skinner. Adapun ciri-ciri dari teori behaviorisme yaitu adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan.

Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Implikasi yang digunakan dalam teori ini yaitu bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pembelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat yang bertujuan menuntut pembelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes.

Saran

Kami menyadri bawasannya penyusun dari makalah ini hanyalah manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanya milik Allah Swt hingga dalam penulisan dan penyusunannya masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa penyusun nanti dalam upaya evaluasi diri.

Akhirnya kami hanya bisa berharap, bahwa dibalik ketidaksempurnaan penulisan dan penyusunan makalah ini adalah ditemukan sesuatu yang dapat memberikan manfaat atau bahkan hikmah bagi penyusun, pembaca, dan bagi semua mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA

Bell Gredler, E. Margaret. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: CV. Rajawali

Degeng, I Nyoman Sudana. 1989. Ilmu Pengajaran Taksonomi Variable. Jakarta:        Depdikbud

Gage, N.L., & Berliner, D. 1979. Educational Psychology. Second Edition, Chicago:  Rand Mc. Nally

Light, G. and Cox, R. 2001. Learning and TeacTeori Belajar Behavioristik

Paul Chapman Publising Slavin, R.E. 1991. Educational Psychology. Third Edition. Boston: Allyn and Bacon

Slavin, R.E. 2000. Educational Psychology: Theory and Practice. Sixth Edition. Boston: Allyn and Bacon

[1] E. KOSWARA.1991.TEORI-TEORI KEPRIBADIAN .Bandung: Eresco

BAB I

PENDAHULUAN

aA.   Latar Belakang

Saat ini terdapat beragam inovasi baru di dalam dunia pendidikan terutama pada proses pembelajaran. Salah satu inovasi tersebut adalah konstruktivisme. Pemilihan pendekatan ini lebih dikarenakan agar pembelajaran membuat siswa antusias terhadap persoalan yang ada sehingga mereka mau mencoba memecahkan persoalannya. Pembelajaran di kelas masih dominan menggunakan metode ceramah dan tanya jawab sehingga kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk berintekrasi langsung kepada benda-benda konkret. Seorang guru perlu memperhatikan konsep awal siswa sebelum pembelajaran. Jika tidak demikian, maka seorang pendidik tidak akan berhasil menanamkan konsep yang benar, bahkan dapat memunculkan sumber kesulitan belajar selanjutnya. Mengajar bukan hanya untuk meneruskan gagasan-gagasan pendidik pada siswa, melainkan sebagai proses mengubah konsepsi-konsepsi siswa yang sudah ada dan di mana mungkin konsepsi itu salah, dan jika ternyata benar maka pendidik harus membantu siswa dalam mengkonstruk konsepsi tersebut biar lebih matang.

Maka dari permasalahan tersebut, kami melakukan penelitian konsep untuk mengetahui bagaimana sebenarnya hakikat teori belajar konstruktivisme ini bisa mengembangkan keaktifan siswa dalam mengkonstruk pengetahuannya sendiri, sehingga dengan pengetahuan yang dimilikinya peserta didik bisa lebih memaknai pembelajaran karena dihubungkan dengan konsepsi awal yang dimiliki siswa dan pengalaman yang siswa peroleh dari lingkungan kehidupannya sehari-hari.

  1. Rumusan Masalah
  2. Bagaimanakah devinisi dari teori konstruktivisme ?
  3. Bagaimanakah konsep dasar dari teori Konstruktivisme ?
  4. Bagaimana implementasi teori konstruktivisme ?
  1. Tujuan
  1. Memahami dan mengerti devinisi dari teori konstruktivisme
  2. Memahami dan mengerti dari adanya konsep dasar teori konstruktivisme
  3. Memahami dan mengerti cara mengaplikasikan teori konstruktivisme dalam sistem pembelajaran

BAB I

PEMBAHASAN

  1. Pengertian Teori Belajar Konstruktivisme

Kontruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam stuktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Pengetahuan itu terbentuk bukan dari objek semata, akan tetapi juga dari kemampuan individu sebagai subjek yang menangkap setiap objek yang di amatinya. Menurut konstruktivisme, pengetahuan itu memang berasal dari luar akan tetapi dikontruksi dalam diri seseorang. Oleh sebab itu tidak bersifat statis akan tetapi bersifat dinamis. Tergantung individu yang melihat dan mengkontruksinya.[1][1]

Teori yang melandasi pembelajaran kooperatif adalah teori konstruktivisme. Pada dasarnya pendekatan teori konstruktivisme dalam belajar adalah suatu pendekatan di mana siswa harus secara individual menemukan dan menstransformasikan informasi yang kompleks, memeriksa informasi dengan aturan yang ada dan merevisinya bila perlu.[2][2]

Teori konstruktivisme didefinisikan sebagai  pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon, konstruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Demikian ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Model pembelajaran ini dikembangkan dari teori belajar konstruktivisme yang lahir dari gagasan Pieget dan vigotsky.

  1. Ciri-ciri Pembelajaran Konstruktivisme

Ada sejumlah ciri-ciri proses pembelajaran yang sangat ditekankan oleh teori konstruktivisme, yaitu:[3][3]

  1. Menekankan pada proses belajar, bukan proses mengajar
  2. Mendorong terjadinya kemandirian dan inisiatif belajara pada siswa
  3. Memandang siswa sebagai pencipta kemauan dan tujuan yang ingin dicapai
  4. Berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses, bukan menekan pada hasil
  5. Mendorong siswa untuk melakukan penyelidikan
  6. Menghargai peranan pengalaman kritis dalam belajar
  7. Mendorong berkembangnya rasa ingin tahu secara alami pada siswa
  8. Penilaian belajar lebih menekankan pada kinerja dan pemahaman siswa
  9. Berdasarkan proses belajarnya pada prinsip-prinsip toeri kognitif
  10. Banyak menggunakan terminologi kognitif untuk menjelaskan proses pembelajaran, seperti prediksi, infernsi, kreasi, dan analisis
  11. Menekankan bagaimana siswa belajar
  12. Mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif dalam dialog atau diskusi dengan siswa lain dan guru
  13. Sangat mendukung terjadinya belajar kooperatif
  14. Melibatkan siswa dalam situasi dunia nyata
  15. Menekankan pentingnya konteks siswa dalam belajar
  16. Memperhatikan keyakinan dan sikap siswa dalam belajar
  17. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan dan pemahaman baru yang didasarkan pada pengalaman nyata
  1. Konsep Dasar Konstruktivisme

Berikut ini merupakan beberapa konsep kunci dari teori konstruktivisme antara lain:

  1. Siswa Sebagai Individu yang Unik

Teori konstruktivisme berpandangan bahwa pembelajar merupakan individu yang unik dengan kebutuhan dan latar belakang yang unik pula. Dalam teori ini tidak hanya memperkenalkan keunikan dan kompleksitas pembelajar tetapi juga secara nyata mendorong, memotivasi dan memberi penghargaan kepada siswa sebagai integral dari proses pembelajaran.

  1. Self Regulated Leaner (Pembelajar yang dapat mengelola diri sendiri )

Siswa dikembangkan menjadi seorang yang memiliki pengetahuan tentang strategi belajar yang efektif, yang sesuai dengan gaya belajarnya dan tahu bagaimana serta kapan menggunakan pengetahuan itu dalam situasi pembelajaran yang berbeda. Self Regulated Leaner termotivasi untuk belajar oleh dirinya sendiri, bukan dari nilai yang diperolehnya sebagai hasil belajar atau karena motivasi eksternal yang lain, misalnya dari guru atau orang tuanya.

  1. Tanggung jawab Pembelajaran

Dalam konstruktivisme ini berpandangan bahwa tanggung jawab belajar bertumpu kepada siswa. Teori ini menekankan bahwa siswa harus aktif dalam proses pembelajaran, dan berbeda pendapat dengan pandangan pendidikan sebelumnya yang menyatakan tanggung jawab pembelajaran lebih kepada guru, sedangkan siswa berperan secara pasif dan reseptif. Disini para pembelajar mencari makna dan akan mencoba mencari keteraturan dari berbagai kejadian yang ada di dunia, bahkan seandainya informasi yang tersedia tidak lengkap.

  1. Motivasi Pembelajaran

Motivasi belajar secara kuat bergantung kepada kepercayaan siswa terhadap potensi belajarnya sendiri. Perasaan kompeten dan kepercayaan terhadap potensi untuk memecahkan masalah baru, diturunkan dari pengalaman langsung di dalam menguasai masalah pada masa lalu. Maka dari itu belajar dari pengalaman akan memperoleh kepercayaan diri, serta motivasi untuk menyelesaikan masalah yang lebih kompleks lagi.

  1. Peran Guru Sebagai Fasilitator

Jika seorang guru menyampaikan kuliah/ceramah yang menyangkut pokok bahasan, maka fasilitator membantu siswa untuk memperoleh pemahamannya sendiri terhadap pokok bahasan/konten kurikulum.

  1. Kolaborasi Antarpembelajar

Pembelajar dengan keterampilan dan latar belakang yang berbeda diakomodasi untuk melakukan kolaborasi dalam penyelesaian tugas dan diskusi-diskusi agar mencapai pemahaman yang sama tentang kebenaran dalam suatu wilayah bahasan yang spesifik.

  1. Proses Top-Down (Proses dari Atas ke Bawah)

Dalam proses ini siswa diperkenalkan dulu dengan masalah-masalah yang kompleks untuk dipecahkan dengan bantuan guru menemukan keterampilan-keterampilan dasar yang diperlukan untuk memecahkan masalah seperti itu. Pada prinsipnya pembelajaran dimulai dengan pemberian dan pelatihan keterampilan-keterampilan dasar dan secara bertahap diberikan keterampilan-keterampilan yang lebih kompleks.[4][4]

  1. Model Pembelajaran Konstruktivisme

Salah satu contoh yang disarankan adalah memulai dari apa yang menurut siswa hal yang biasa, padahal sesungguhnya tidak demikian. Perlu diupayakan terjadinya situasi konfik pada struktur kognitif siswa. Contohnya mengenai cecak atau cacing tanah. Mereka menduga cecak atau cacing tanah hanya satu macam, padahal keduanya terdiri lebih dari satu genus (bukan hanya berbeda species). Berikut ini akan dicontohkan model untuk pembelajaran mengenai cacing tanah melalui ketiga tahap dalam pembelajaran konstruktivisme (ekplorasi, klarifikasi, dan aplikasi)

Fase Eksplorasi

  • Diperlihatkan tanah berisi cacing dan diajukan pertanyaan: “Apa yang kau   ketahui tentang cacing tanah?”.
  • Semua jawaban siswa ditampung (ditulis dipapan tulis jika perlu).
  • Siswa diberi kesempatan untuk memeriksa keadaan yang sesungguhnya, dan diberi kesempatan untuk merumuskan hal-hal yang tidak sesuai dengan jawaban mereka semula.

Fase Klarifikasi
· Guru memperkealkan macam-macam cacing dan spesifikasinya.

  • Siswa merumuskan kembali pengetahuan mereka tentang cacing tanah.
  • Guru memberikan masalah berupa pemilihan cacing yang cocok untuk dikembangbiakkan.
  • Siswa mendiskusikannya secara berkelompok dan merencanakan penyelidikan.
  • Secara berkelompok siswa melakukan penyelidikan untuk menguji rencananya.
  • Siswa mencari tambahan rujukan tentang manfaat cacing tanah dulu dan sekarang.

Fase Aplikasi

  • Secara berkelompok siswa melaporkan hasilnya, dilanjutkan dengan penyajian oleh wakil kelompok dalam diskusi kelas.
  • Secara bersama-sama siswa merumuskan rekomendasi untuk para pemula yang ingin ber-“ternak cacing” tanah.
  • Secara perorangan siswa membuat tulisan tentang perkehidupan jenis cacing tanah tertentu sesuai hasil pengamatannya.[5][5]


  1. Peranan (Implementasi) Teori Konstruktivisme di Kelas

Berdasarkan ciri-ciri pembelajaran konstruktivisme tersebut di atas, berikut ini dipaparka tentang penerapan di kelas.[6][6]

  1. Mendorong kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar

Dengan menghargai gagasan-gagasan atau pemikiran siswa serta mendorong siswa berpikir mandiri, berarti guru membantu siswa menemukan identitas intelektual mereka. Para siswa yang merumuskan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian menganalisis serta menjawabnya berarti telah mengembangkan tanggung jawab terhadap proses belajar mereka sendiri serta menjadi pemecah masalah (problem solver).

  1. Guru mengajukan pertanyaan terbuka dan memberikan kesempatan beberapa waktu kepada siswa untuk merespon

Berfikir reflektif memerlukan waktu yang cukup dan seringkali atas dasar gagasan-gagasan dan komentar orang lain. Cara-cara guru mengajukan pertanyaan dan cara siswa merespon atau menjawabnya akan mendorong siswa mampu membangun keberhasilan dalam melakukan penyelidikan.

  1. Mendorong siswa berpikir tingkat tinggi

Guru yang menerapkan proses pembelajaran konstruktivisme akan menantang para siswa untuk mampu menjangkau hal-hal yang berada di balik respon-respon faktual yang sederhana. Guru mendorong siswa untuk menghubungkan dan merangkum konsep-konsep melalui analisis, prediksi, justifikasi, dan mempertahankan gagasan-gagasan atau pemikirannya.

  1. Siswa terlibat secara aktif dalam dialog atau diskusi dengan guru dan siswa lainnya

Dialog dan diskusi yang merupakan interaksi sosial dalam kelas yang bersifat intensif sangat membantu siswa untuk mampu mengubah atau menguatkan gagasan-gagasannya. Jika mereka memiliki kesempatan untuk megemukakan apa yang mereka pikirkan dan mendengarkan gagasan-gagasan orang lain, maka mereka akan mampu membangun pengetahuannya sendiri yang didasarkan atas pemahaman mereka sendiri. Jika mereka merasa aman dan nyaman untuk mengemukakan gagasannya maka dialog yang sangat bermakna akan terjadi di kelas.

  1. Siswa terlibat dalam pengalaman yang menantang dan mendorong terjadinya diskusi

Jika diberi kesempatan untuk membuat berbagai macam prediksi, seringkali siswa menghasilkan berbagai hipotesis tentang fenomena alam ini. Guru yang menerapkan konstruktivisme dalam belajar memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk menguji hipotesis yang mereka buat, terutama melalui diskusi kelompok dan pengalaman nyata.

  1. Guru memberika data mentah, sumber-sumber utama, dan materi-materi interaktif

Proses pembelajaran yang menerapkan pendekatan konstruktivisme melibatkan para siswa dalam mengamati dan menganalisis fenomena alam dalam dunia nyata. Kemudian guru membantu para siswa untuk menghasilkan abstraksi atau pemikiran-pemikiran tentang fenomena-fenomena alam tersebut secara bersama-sama.[7][7]

Selain itu yang paling penting adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa . siswa harus membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi , tetapi harus diupayakan agar siswa itu sendiri yang memanjatnya.

Dari uraian tersebut dapat dikatakan, bahwa makna belajar menurut konstruktivisme adalah aktivitas yang aktif, dimana pesrta didik membina sendiri pengetahuannya, mencari arti dari apa yang mereka pelajari dan merupakan proses menyelesaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berfikir yang telah ada dan dimilikinya (Shymansky,1992).

Dalam mengkonstruksi pengetahuan tersebut peserta didik diharuskan mempunyai dasar bagaimana membuat hipotesis dan mempunyai kemampuan untuk mengujinya, menyelesaikan persoalan, mencari jawaban dari persoalan yang ditemuinya, mengadakan renungan, mengekspresikan ide dan gagasan sehingga diperoleh konstruksi yang baru.[8][8]

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Pada dasarnya Teori konstruktivisme disini diartikan sebagai suatu pendekatan di mana siswa harus secara individual menemukan dan menstransformasikan informasi yang kompleks, memeriksa informasi dengan aturan yang ada dan merevisinya bila perlu.

Konsep dasar konstruktivisme merupakan suatu unsur dimana seseorang dapat membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.

Peranan (Implementasi) Teori Konstruktivisme bila diterapkan di kelas akan terbentuk: a) Mendorong kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar. b) Guru mengajukan pertanyaan terbuka dan memberikan kesempatan beberapa waktu kepada siswa untuk merespon. c) Mendorong siswa berpikir tingkat tinggi. d) Siswa terlibat secara aktif dalam dialog atau didkusi dengan guru dan siswa lainnya. e) Siswa terlibat dalam pengalaman yang menantang dan mendorong terjadinya diskusi. f) Guru memberika data mentah, sumber-sumber utama, dan materi-materi interaktif.

DAFTAR PUSTAKA

Dalyono, Psokologi pendidikan, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009.

Jeanne, Ormrod, Edisi Ke 6 Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang, Jakarta: Erlangga, 2008.

Rusman, Model-Model Pada Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru Edisi 2, Jakarta: Rajawali Press, 2012.

Suyono, Belajar dan Pembelajaran Teori dan Konsep Dasar, PT Remaja Rosdakarya: Bandung, 2011.

Wasty, Soemanto, Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998.

Winasanjaya, Pembelajaran dalam implementasi kurikulum berbasis kompetensi Jakarta: Kencana, 2005.

Makalah Pendidikan Tentang ‘TEORI BELAJAR KOGNITIF’

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri. Belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon, lebih dari itu belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati. Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan tentang teori kognirif menurut beberapa tokoh, aplikasi teori kognitif dalam kegiatan pembelajaran, dan implikasi teori kognitivistik dalam pembelajaran.

  1. Rumusan Masalah
  2. Apakah pengertian belajar menurut pandangan teori kognitif?
  3. Siapa saja tokoh-tokoh teori belajar kognitif?
  4. Bagaimankah aplikasi teori kognitif dalam kegiatan pembelajaran?
  5. Bagaimanakah implikasi teori kognitifistik dalam pembelajaran?

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Pengertian Belajar Menurut Teori Kognitif

Teori belajar kognitif berbeda dengan teori belajar behavioristik, teori belajar kognitif leih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya. Para penganut aliran kognitif mengatakan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon. Tidak seperti model belajar behavioristik yang mempelajari prses belajar hanya sebagai hubungan stimulus-respon, model belajar kognitif merupakan suatu bentuk teori belajar yang sering disebut sebagai model perceptual. Model belajar kognitif mengatakan bahwa tingkah laku sesorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Perubahan Belajar merupakan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebaigai tingkah laku yang nampak.

Teori kognitif juga menekankan bahwa bagian-bagian bahawa dari sistuasi salaing berhubungan dengan seluruh kontek situasi tersebut. Memisah-misahkan atau membagi-bagi situasi /materi pelajaran menjadi komponen-komponen yang kecil-kecil dan mempelajarinya secara terpisah-pisah, akan kehilangan makna. Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan infirnasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar merupakan aktifitas yang melibatkan proses berfikir yang ssangat komplek. Prose belajar terjadi antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diitrerima dan menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki dan sudah terbentuk dalam diri sesorang berdasarkan pemahman dan pengalaman-pengalaman sebelumnnya. Dalam praktek pembelajaran, teori kognitif antara lain tampak dalam rumusan-rumusan seperti: “tahap-tahap perkembangan” yang dikemukakan oleh j.piaget, advance organizer oleh ausubel, pemahaman konsep oleh bruner, hirarki belajar oleh gagne, webteacing oleh norman dan sebagainya.[9][1]

  1. Beberapa Tokoh-Tokoh Teori Belajar Kognitif
  2. Teori perkembangan menurut piaget

Piaget adalah seorang tokoh psikologi kognitif yang besar pengaruhnnya terhadap perkembangan pemikiran para pakar kognitif lainnya. Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetic, yaitu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan system saraf. Dengan makin bertambahnya umur seseorang, maka semakin komplekslah susunan sel sarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya. Piaget tidak melihat perkembangan kognitif sebagai suatu yang dapat didefinisikan secara kuantitatif. Ia menyimpulkan bahwa daya pikir daya berpikir atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif.[10][2]

Jean Piaget mengklasifikasikan perkembangan kognitif anak menjadi empat tahap:[11][3]

  1. Tahap sensory – motor, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 0-2 tahun, Tahap ini diidentikkan dengan kegiatan motorik dan persepsi yang masih sederhana.
  2. Tahap pre – operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 2-7 tahun. Tahap ini diidentikkan dengan mulai digunakannya symbol atau bahasa tanda, dan telah dapat memperoleh pengetahuan berdasarkan pada kesan yang agak abstrak.
  3. Tahap concrete – operational, yang terjadi pada usia 7-11 tahun. Tahap ini dicirikan dengan anak sudah mulai menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis. Anak sudah tidak memusatkan diri pada karakteristik perseptual pasif.
  4. Tahap formal – operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 11-15 tahun. Ciri pokok tahap yang terahir ini adalahanak sudah mampu berpikir abstrak dan logisdengan menggunakan pola pikir “kemungkinan”.

Dalam pandangan Piaget, proses adaptasi seseorang dengan lingkungannya terjadi secara simultan melalui dua bentuk proses, asimilasi dan akomodasi. Asimilasi terjadi jika pengetahuan baru yang diterima seseorang cocok dengan struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang tersebut.  Sebaliknya, akomodasi terjadi  jika struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang harus direkonstruksi / di kode ulang disesuaikan dengan informasi yang baru diterima.

Dalam teori perkembangan kognitif ini Piaget juga menekankan pentingnya penyeimbangan (equilibrasi) agar seseorang dapat terus mengembangkan dan menambah pengetahuan sekaligus menjaga stabilitas mentalnya.Equilibrasi ini dapat dimaknai sebagai sebuah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamya. Proses perkembangan intelek seseorang berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium melalui asimilasi dan akomodasi

  1. Teori Belajar Menurut Bruner

Bruner menekankan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupan. Bruner meyakini bahwa pembelajaran tersebut bisa muncul dalam tiga cara atau bentuk, yaitu: enactive, iconic dan simbolic.[12][4]

Pembelajaran enaktif mengandung sebuah kesamaan dengan kecerdasan inderawi dalam teori Piaget. Pengetahuan enaktif adalah mempelajari sesuatu dengan memanipulasi objek–melakukan pengatahuan tersebut daripada hanya memahaminya. Anak-anak didik sangat mungkin paham bagaimana cara melakukan lompat tali (‘melakukan’ kecakapan tersebut), namun tidak terlalu paham bagaimana menggambarkan aktifitas tersebut dalam kata-kata, bahkan ketika mereka harus menggambarkan dalam pikiran. Pembelajaran ikonik merupakan pembelajaran yang melalui gambaran; dalam bentuk ini, anak-anak mempresentasikan pengetahuan melalui sebuah gambar dalam benak mereka. Anak-anak sangat mungkin mampu menciptakan gambaran tentang pohon mangga dikebun dalam benak mereka, meskipun mereka masih kesulitan untuk menjelaskan dalam kata-kata. Pembelajaran simbolik, ini merupakan pembelajaran yang dilakukan melalui representasi pengalaman abstrak (seperti bahasa) yang sama sekali tidak memiliki kesamaan fisik dengan pengalaman tersebut. Sebagaimana namanya, membutuhkan pengetahuan yang abstrak, dan karena simbolik pembelajaran yang satu ini serupa dengan operasional formal dalam proses berpikir dalam teori Piaget.

Jika dikorelasikan dengan aplikasi pembelajaran, Discoveri learningnya Bruner dapat dikemukakan sebagai berikut:

  1. a) Belajar merupakan kecenderungan dalam diri manusia, yaitu Self-curiousity (keingintahuan) untuk mengadakan petualangan pengalaman.
  2. b) Belajar penemuan terjadi karena sifat mental manusia mengubah struktur yang ada. Sifat mental tersebut selalu mengalir untuk mengisi berbagai kemungkinan pengenalan.
  3. c) Kualitas belajar penemuan diwarnai modus imperatif kesiapan dan kemampuan secara enaktif, ekonik, dan simbolik.
  4. d) Penerapan belajar penemuan hanya merupakan garis besar tujuan instruksional sebagai arah informatif.
  5. e) Kreatifitas metaforik dan creative conditioning yang bebas dan bertanggung jawab memungkinkan kemajuan.
  1. Teori Belajar Bermakna Ausubel.

Psikologi pendidikan yang diterapkan oleh Ausubel adalah bekerja untuk mencari hukum belajar yang bermakna, teori-teori belajar yang ada selama ini masih banyak menekankan pada belajar asosiatif atau belajar menghafal. Belajar demikian tidak banyak bermakna bagi siswa.[13][5] Berikut ini konsep belajar bermakna David Ausubel.

Pengertian belajar bermakna. Menurut Ausubel ada dua jenis belajar : (1) Belajar bermakna (meaningful learning) dan (2) belajar menghafal (rote learning). Belajar bermakna adalah suatu proses belajar di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Sedangkan belajar menghafal adalah siswa berusaha menerima dan menguasai bahan yang diberikan oleh guru atau yang dibaca tanpa makna.

Sebagai ahli psikologi pendidikan Ausubel menaruh perhatian besar pada siswa di sekolah, dengan memperhatikan/memberikan tekanan-tekanan pada unsur kebermaknaan dalam belajar melalui bahasa (meaningful verbal learning). Kebermaknaan diartikan sebagai kombinasi dari informasi verbal, konsep, kaidah dan prinsip, bila ditinjau bersama-sama. Oleh karena itu belajar dengan prestasi hafalan saja tidak dianggap sebagai belajar bermakna. Maka, menurut Ausubel supaya proses belajar siswa menghasilkan sesuatu yang bermakna, tidak harus siswa menemukan sendiri semuanya. Malah, ada bahaya bahwa siswa yang kurang mahir dalam hal ini akan banyak menebak dan mencoba-coba saja, tanpa menemukan sesuatu yang sungguh berarti baginya. Seandainya siswa sudah seorang ahli dalam mengadakan penelitian demi untuk menemukan kebenaran baru, bahaya itu tidak ada; tetapi jika siswa tersebut belum ahli, maka bahaya itu ada.

Ia juga berpendapat bahwa pemerolehan informasi merupakan tujuan pembelajaran yang penting dan dalam hal-hal tertentu dapat mengarahkan guru untuk menyampaikan informasi kepada siswa. Dalam hal ini guru bertanggung jawab untuk mengorganisasikan dan mempresentasikan apa yang perlu dipelajari oleh siswa, sedangkan peran siswa di sini adalah menguasai yang disampaikan gurunya.

Belajar dikatakan menjadi bermakna (meaningful learning) yang dikemukakan oleh Ausubel adalah bila informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki peserta didik itu sehingga peserta didik itu mampu mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya.

Belajar seharusnya merupakan apa yang disebut asimilasi bermakna, materi yang dipelajari di asimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dipunyai sebelumnya. Untuk itu diperlukan dua persyaratan:[14][6]

  1. Materi yang secara potensial bermakna dan dipilih oleh guru dan harus sesuai dengan     tingkat    perkembangan dan pengetahuan masa lalu peserta didik.
  2. Diberikan dalam situasi belajar yang bermakna, faktor motivasional memegang peranan   penting dalam hal ini, sebab peserta didik tidak akan mengasimilasikan materi baru tersebut apabila mereka tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan bagaimana melakukannya. Sehingga hal ini perlu diatur oleh guru, agar materi tidak dipelajari secara hafalan.

Berdasarkan uraian di atas maka, belajar bermakna menurut Ausubel adalah suatu proses belajar di mana peserta didik dapat menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya dan agar pembelajaran bermakna, diperlukan 2 hal yakni pilihan materi yang bermakna sesuai tingkat pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki siswa dan situasi belajar yang bermakna yang dipengaruhi oleh motivasi.

Dengan demikian kunci keberhasilan belajar terletak pada kebermaknaan bahan ajar yang diterima atau yang dipelajari oleh siswa. Ausubel tidak setuju dengan pendapat bahwa kegiatan belajar penemuan (discovery learning) lebih bermakna daripada kegiatan belajar penerimaan (reception learning). Sehingga dengan ceramahpun, asalkan informasinya bermakna bagi peserta didik, apalagi penyajiannya sistematis, akan dihasilkan belajar yang baik.

  1. Aplikasi Teori Kognitif dalam Kegiatan Pembelajaran

Hakekat belajar menurut teori kognitif dijelaskan sebagai suatu aktivitas belajar yang berkaitan dengan penataan informasi, reorganisasi perceptual, dan proses internal. Kegiatan pembelajaran yang berpihak pada teori belajar kognitif ini sudah banyak digunakan. Dalam menemukan tujuan pembelajaran, mengembangkan strategi dan tujuan pembelajaran, tidak lagi mekanistik sebagaimana yang dilakukan dalam pendekatan behavioristik. Kebebasan dan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar amat diperhitungkan, agar belajar lebih bermakna bagi siswa. Sedangkan kegiatan pembelajarannya mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut:[15][7]

  1. Siswa bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berfikirnya. Mereka mengalami perkembangan kognitif melalui tahap-tahap tertentu.
  2. Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik terutama jika mendengarkan benda-benda kongrit.
  3. Keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan, karena hanya dengan mengaktifkan siswa maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik.
  4. Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi perlu mengkaitkan pengalaman atau informasi baru dengan struktur kognitif yang telah memiliki si belajar.
  5. Pemahaman dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola atau logika tertentu, dari sederhana ke kompleks.
  6. Belajar memahami akan lebih bermakna daripada belajar mneghafal.
  7. Adanya perbedaan individual pada diri siswa pelu diperhatikan karena faktor ini sangat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa.
  1. Implikasi Teori Balajar Psikologi Kognitif dalam Pembelajaran

Dalam perkembangan setidaknya ada tiga teori belajar yang bertitik tolak dari teori kognitivisme ini yaitu: Teori perkembangan piaget, teori kognitif Brunner dan Teori bermakna Ausubel. Ketiga tokoh teori penting ini yang dapat mengembangkan teori belajar kognitif.[16][8]

Teori Kognitif Piaget Brunner Ausubel, Proses belajar terjadi menurut pola tahap-tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umur siswa. Proses belajar terjadi melalui tahap-tahap:

  1. Asimilasi (penyesuaian (peleburan) sifat asli yg dimiliki dng sifat lingkungan sekitar; 2 Ling perubahan bunyi konsonan akibat pengaruh konsonan yg berdekatan)
  2. Akomodasi (penyesuaian mata untuk menerima bayangan yg jelas dr objek yg berbeda; 3 Antr penyesuaian manusia dl kesatuan sosial untuk menghindari dan meredakan interaksi ketegangan dan konflik; 4 Sos penyesuaian sosial dl interaksi antara pribadi dan kelompok manusia untuk meredakan pertentangan;)
  3. Equilibrasi

Proses belajar lebih ditentukan oleh karena cara kita mengatur materi pelajaranan bukan ditentukan oleh umur siswa. Proses belajar terjadi melalui tahap-tahap:

  1. Enaktif (aktivitas)
  2. Ekonik (visual verbal)
  3. Simbolik

Dari ketiga macam teori diatas jelas masing-masing mempunya implikasi yang berbeda, namun secara umum teori kognitivisme lebih mengarah pada bagaimana memahami struktur kognitif siswa, dan ini tidaklah mudah, Dengan memahami struktur kognitif siswa, maka dengan tepat pelajaran bahasa disesuaikan sejauh mana kemampuan siswanya. Selain itu, juga model penyusunan materi pelajaran bahasa arab hendaknya disusun berdasarkan pola dan logika tertentu agar lebih mudah dipahami. Penyusunan materi pelajaran bahasa arab di buat bertahap mulai dari yang paling sederhana ke kompleks. hendaknya dalam proses pembelajaran sebisa mungkin tidak hanya terfokus pada hafalan, tetapi juga memahami apa yang sedang dipelajari, dengan demikian jauh akan lebih baik dari sekedar menghafal kosakata.

[1][1] Winasanjaya, Pembelajaran dalam implementasi kurikulum berbasis kompetensi (Jakarta:KENCANA,2005), hal 118.

[2][2] Rusman, Model-Model Pada Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru Edisi 2 (Jakarta: Rajawali Press, 2012), 201.

[3][3] Dalyono, Psokologi pendidikan (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009), 34.

[4][4] Suyono, Belajar dan Pembelajaran Teori dan Konsep Dasar (PT Remaja Rosdakarya: Bandung, 2011), 111-115.

[5][5]Ratnawilisdahar, teori-teori belajar dan pembelajaran (Bandung: Erlangga, 2006), 103.

[6][6] Ormrod, Jeanne., Edisi Ke 6 Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang (Jakarta: Erlangga, 2008), 78.

[7][7] Ibid., 79.

[8][8] Soemanto, Wasty, Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan ( Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998), 89-90.

[9][1] Asri Budiningsih, Belajar dan pembelajaran (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), hal. 34.

[10][2] Ibid…, hal. 35.

[11][3]Winfred F. Hill, Theories of Learning (Teori-teori dalam Pembelajaran,Konsepsi, Komparasi, dan Signifikan) (Bandung: Nusa Media, 2011), hal. 160-161.

[12][4] Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran….., hal. 40-41.

[13][5] Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran….., hal. 43.

[14][6] Ibid…,

[15][7] Ibid…,

[16][8] Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono, Psikologi Belajar (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hal. 35.

Tinggalkan komentar